Pages

Kamis, 03 Maret 2011

Etika Berbicara

DALAM Bahasa Indonesia, sejak lama penggunaan kata ganti orang kedua telah menjadi masalah yang sulit untuk dicarikan pemecahan yang memuaskan. Ketika kata "kamu" mulai dianggap tidak sopan digunakan untuk orang yang lebih tua atau lebih dihormati, pada awal tahun 1960-an Pak Rosihan Anwar memperkenalkan kata "anda".
Dengan cepat kata "anda" diserap oleh masyarakat, didalam percakapan maupun dalam surat menyurat. Tetapi didalam pergaulan yang lebih akrab, kata anda tidak dipergunakan karena terasa terlalu formal. Anak muda termasuk di kampus dr Jakarta masih menggunakan kata "lu".Saya tidak tahu kapan mulainya, terasa bahwa kata "anda" sudah tidak memadai dalam etika percakapan. Terhadap orang yang lebih muda atau bawahan, kata "anda" terasa sangat tepat untuk digunakan. Juga untuk orang yang setara. Tetapi terhadap orang yang lebih tua atau terhadap atasan, terasa kurang tepat.
Terhadap atasan, orang yang lebih tua atau yang perlu dihormati, banyak yang menggunakan kata "bapak" atau "ibu" sebagai kata pengganti orang kedua. Untuk kalangan tertentu kita menggunakan kata "abang". Untuk orangjawa digunakan kata sampean terhadap yang setara dan kata "panjenengan" terhadap yang lebih tua atau atasan. Untuk kalangan santri, lazim dipakai kata "ente" atau "antum" yang lebih sopan.Dalam dialog yang bersifat formal, banyak yang masih canggung menggunakan kata ganti yang sudah lama kita pergunakan yaitu kata "saudara". Tentu dalam dialog seperti itu kita tidak mungkin menggunakan kata "kamu" sebagai kata pengganti orang kedua.
Sebagai contoh dikemukakan dialog antara Andy Noya dengan Sultan Hamengku Buwono X dalam acara "Kick Andy". Andy memakai kata anda" terhadap HB X, sebaliknya HB X memakai kata "bapak" terhadap Andy. Seorang kawan, mengatakan bahwa Anrjy tidak punya etika berbahasa. Sudah disindir oleh HB X dangan sebutan "bapak", dia masih memakai kata "anda" terhadap HB X.Contoh lain adalah dialog dalam rapat Pansus Angket Bank Century. Terhadap Wapres digunakan panggilan Bapak dan Wapres juga menggunakan panggilan Bapak atau Ibu. Tetapi Marsillam lebih lugas dan tidak canggung. Dia gunakan kata "saudara" untuk kata ganti orang kedua terhadap para anggota Pansus. Maka para anggota Pansus juga memanggil Marsillam dengan kata Saudara Saksi.
Menurut saya, cara yang dipakai oleh Marsillam lebih baik dan perlu didorong untuk digunakan secara luas. Kalau sudah dipergunakan secara luas tentu tidak usah menimbulkan perasaan rikuh atau canggung bagi penggunanya. Tidak pula perlu menimbulkan perasaan tidak enak karena kurang menghormati lawan bicara kita. Dan lawan bicara kita juga tidak perlu merasa tidak kita hormati.Dalam tayangan TV tentang jalannya sidang Pansus BC, kita juga melihat banyak etika berbicara yang tidak dijaga dengan baik. Contohnya ialah intonasi suara beberapa anggota DPR yang serjng terlalu tinggi dan terkesan seperti menghadapi pesakitan. Perang mulut antara Gayus Lumbuun dengan Ruhut Sitompul yang menggunakan kata-kata yang tidak pantas, memberi kesan amat negatif terhadap masyarakat.
Amat mungkin contoh-contoh negatif di atas dan mungkin yang lain tentang etika berbicara yang tidak dijaga, akan ditiru oleh para anggota DPRD dan masyarakat. Karenanya contoh-contoh itu perlu dicatat oleh pimpinan fraksi masing-masing dan juga oleh pimpinan DPR lalu dicari jalan untuk bisa memperbaikinya.Saya pernah membaca tulisantentang kemampuan anggota DPR Inggris dalam berbicara yang mampu menyampaikan pikiran secara singkat dan padat, langsung pada sasaran, dan tidak bertele-tele. Ada baiknya para anggota DPR cukup rendah hati untuk mendapat pelatihan guna meningkatkan kemampuan berbicara mereka sehingga efektif, hemat waktu, dan beretika. (Salahuddin Wahid, Pengasuh Pesantren Tebuireng)

0 komentar:

Posting Komentar